close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Napi kasus terorisme berikrar setia  pada NKRI dengan mencium bendera merah putih. /Foto Antara
icon caption
Napi kasus terorisme berikrar setia pada NKRI dengan mencium bendera merah putih. /Foto Antara
Nasional
Sabtu, 24 Desember 2022 16:36

Deradikalisasi "setengah hati" di mata para mantan teroris

Program-program deradikalisasi yang menyasar eks napi kasus terorisme kerap tak efektif karena tak berkesinambungan.
swipe

Zein Effendy masih ingat betul detail-detail program deradikalisasi yang pernah ia ikuti saat mendekam di Lapas Cipinang, Jakarta, beberapa tahun lalu. Bertajuk Klinik Pancasila, program deradikalisasi yang menyasar Zein dan kawan-kawan kala itu diinisiasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Klinik Pancasila, kata Zein, umumnya berisi serangkaian pemaparan. Materi yang diberikan kepada para napi seputar Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), empat pilar kebangsaan, dan wawasan kebangsaan. Program itu bikin para napi jenuh. 

“Terus ada lagi program dari BNPT yang mendatangi ulama dari Timur Tengah. Syekh Najib Ibrahim (eks petinggi Jamaah Islamiah asal Mesir) salah satunya,” ujar Zein saat berbincang dengan Alinea.id, Minggu (18/12). 

Zein mendekam di LP Cipinang pada 2011-2014. Ia ditangkap polisi lantaran menyembunyikan informasi tentang Abdullah Sonata, salah satu teroris yang paling dicari Polri kala itu. Sonata ialah sobat pentolan JI Noordin M. Top, terlibat dalam konflik di Ambon, serta turut membangun kamp pelatihan teroris di Filipina.

Selain program BNPT, upaya deradikalisasi juga digelar oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM). Khusus di LP Cipinang, Zein pernah merasakan program yang digelar Search for Common Ground (SFCG). Beroperasi di puluhan negara, SFGC fokus pada manajemen konflik dan membangun perdamaian. 

Program deradikalasi SFGC, kata Zein, dijalankan dengan lebih santai. Pemaparan-pemaparan yang sifatnya "menggurui" para napi dihindari oleh para pengampu program deradikalisasi dari lembaga tersebut. Menggantikan itu, SFGC menggelar banyak permainan yang melibatkan para napi. 

“Jadi, suasana (program deradikalisasi LSM) juga lebih kayak sharing sama teman. Artinya bukan kita digurui. Lebih banyak diskusi. Kalau BNPT kan kita dengar pemaparan,” ujarnya.

Skema semi formal itu, menurut Zein, membuat para napiter seolah tidak sadar sedang mengikuti program deradikalisasi. Apalagi, orang-orang SFGC menempatkan diri bak sejajar dengan para napi, tidak seperti guru berhadapan dengan murid. 

“Artinya, saling terbuka antara yang punya program (LSM) sama yang ikut program (napiter). Saran dan kritik saling terima. Sama-sama curhat,” kenang Zein. 

Zein sebenarnya divonis enam tahun penjara. Namun, ia bisa keluar bui lebih cepat setelah pembebasan bersyarat yang ia ajukan diterima pihak LP. Di luar bui, selama tiga tahun, Zein tetap ikut dalam beragam program deradikalisasi. Selain itu, Zein juga dimodali negara untuk membuka usaha. 

“Waktu itu saya sudah sempat usaha service HP (handphone). Cuma, ke sininya, orang jarang service HP. Sekarang itu, orang kalau HP rusak ganti. Terus, pernah juga istri dimodalin mesin jahit dan obras. Tapi, orderan jahit kan enggak rutin,” kata Zein.  

Pada masa-masa awal bebas dari bui, Zein mengaku rumahnya di Cimanggis, Depok, Jawa Barat, rutin kedatangan tamu. Mereka rata-rata berasal instansi negara semisal BNPT, Detasemen Khusus 88 Anti Teror (Densus 88), dan TNI. Sesekali, ada pula tamu dari LSM datang berkunjung. 

“Kayak silaturahmi biasa saja. Ngobrol santai sambil minum kopi... Ada yang tanya ke tetangga, 'Apakah saya masih suka kumpul-kumpul atau mengumpulkan orang di rumah?' Cuma orang yang tanya enggak pakai pakaian dinas," kata Zein. 

Kini, Zein aktif di Yayasan Hubbul Wathon Indonesia 19 (HWI 19). Yayasan tersebut dikelola oleh eks napiter dan bermarkas di Sentul, Bogor, Jawa Barat. Di sana, para eks napiter memiliki berbagai kegiatan, dari mengelola pariwisata sampai pertanian.

Argumentasi serupa diungkap Mukhtar Khairi. Sama seperti Zein, juga merasakan program deradikalisasi BNPT dan SFGC saat mendekam di LP Cipinang. Membandingkan keduanya, ia menyebut program SFGC lebih efektif. 

“Pada waktu itu, tidak berhasil karena ada miskomunikasi antara teman-teman napiter yang cenderung tidak mau digurui atau tidak mau diajari. Kedatangan Klinik Pancasila itu dianggap kurang layak oleh teman-teman napiter,” ucapnya kepada Alinea.id, Jumat (16/12).

Mukhtar ditangkap pada 2010 karena terlibat dalam pelatihan militer jamaah Al Qaeda Serambi Mekkah. Ia divonis 8 tahun penjara. Karena dianggap berkelakuan baik dan telah memeluk NKRI, Mukhtar bebas setelah 5 tahun 2 bulan. 

Selain Klinik Pancasila, seingat Muktar, BNPT juga pernah mendatangkan dua ulama dari Timur Tengah. Kedatangan para ulama itu memberikan pengaruh positif kepada napiter. "Jika dipersentasekan, sekitar 30% napiter saat itu menerima dan sisanya menolak," imbuh dia. 

Setelah bebas, Mukhtar tetap mengikuti program deradikalisasi BNPT dan Densus 88. Bantuan usaha diberikan oleh Kementerian Sosial (Kemensos) yang dijembatani BNPT.

Saat kembali ke masyarakat, Mukhtar mengajar di madrasah. Seiring waktu, ia juga sering diundang sebagai pembicara untuk menyampaikan pengalaman hidupnya kepada mahasiswa. Ada kalanya ia dan eks napiter lainnya datang ke berbagai seminar sebagai peserta. 

“Membahas tentang agama dan wawasan kebangsaan. Jadi tentang wawasan kebangsaan yang ditinjau dari sudut pandang agama Islam. Itu pun, alhamdulillah, cukup efektif,” kata Mukhtar. 

Di luar bui, Mukhtar mengaku ia tetap akrab dengan BNPT dan Densus 88. Petugas dari kedua instansi itu rutin bertamu ke rumah atau mengajak "nongkrong" bareng. 

"Akhirnya, jadi dekat. Mungkin, menurut versi BNPT atau Densus 88, supaya mudah dimonitor,” jelas pria yang kini aktif sebagai salah satu pengurus HWI 19 itu. 

Pendirian yayasan, menurut Mukhtar, merupakan salah satu cara memutus mata rantai terorisme. Dengan bergabung di yayasan, eks napiter diupayakan untuk tidak lagi berkomunikasi dengan jaringan teroris. "Usaha bareng. Bersinergi bareng,” imbuh dia. 

Memutus hubungan antara eks napiter dengan jaringan teroris lama (disengagement), kata Mukhtar, sangat penting dalam program deradikalisasi. Dia berharap program-program disengagement digelar secara masif. 

Ia berkaca pada kasus bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (7/12) lalu. Pelaku diketahui adalah Agus Sujatno yang sebelumnya pernah dipenjara karena terlibat kasus bom panci.

“Memang ketika bebas, dia (Agus Sujatno) bebas murni. Dia enggak mau ikut sumpah setia NKRI. Ia bisa jadi beraksi karena yang bersangkutan kembali terhubung dengan jaringan terorisnya yang lama," kata Mukhtar. 

Umar Patek, salah satu dalang bom Bali, menjadi pembawa bendera dalam upacara HUT RI. Awal Desember lalu, Patek dibebaskan dari penjara karena dianggap berkelakuan baik. /Foto Antara

Tak sepenuhnya efektif

Eks napiter Sofyan Tsauri mengungkapkan saat ini setidaknya ada dua jenis program deradikalisasi yang digelar pemerintah, yakni milik BNPT dan Densus 88. Program-program tersebut, kata dia, tak sepenuhnya efektif "meluruskan" para napiter.

“Salah satu contoh, dalam catatan kita, ada 75 eks napiter yang kemudian berbuat perbuatannya kembali setelah dia menjalani hukuman. Terakhir, adalah kasus bom Astana Anyar,” ujar Sofyan kepada Alinea.id, Jumat (16/12).

Tanpa berniat membanding-bandingkan, Sofyan menyebut, program-program deradikalisasi yang digelar Densus 88 cenderung lebih efektif. Selain membangun yayasan-yayasan untuk mewadahi eks napiter, unit antiteror Polri itu juga rutin menggelar diskusi di kampus dan upacara-upacara pencabutan baiat. 

“Contohnya di Februari 2022, di Lampung ada 120 anggota JI (cabut baiat). Kemarin kami ikut ke Kampar, Riau, itu ada sekitar 350 eks JI yang mencabut baiat juga. Di Aceh, ada sekitar 500-600 orang yang mencabut baiat juga dari JI. Kemarin di Tangerang Selatan ada sekitar 250 (orang) juga yang NII cabut baiat,” jelasnya.

Di lain sisi, Sofyan berpendapat, program deradikalisasi BNPT terkesan hanya seremonial. Ajang deradikalisasi dalam bentuk seminar, misalnya, kerap digelar di hotel disertai makan-makan. Walhasil, banyak eks napiter yang ikut program BNPT untuk sekadar pamer muka saja. 

“Maksudnya, itu hanya memanfaatkan program-program itu tanpa mau betul-betul sadar. Artinya gini, kayak kasus-kasus mereka telah mau NKRI, menerima bantuan, tapi ideologi dan pahamnya enggak sembuh betul,” katanya.

Sofyan merupakan mantan polisi yang terlibat dalam terorisme jaringan Al Qaeda Asia Tenggara. Pada 2010, dia ditangkap Densus 88 dan  divonis 10 tahun penjara. Sofyan bebas pada 2015 dan kini aktif sebagai Ketua Divisi Dakwah Yayasan DeBintal. 

Yayasan tersebut, kata Sofyan, diinisiasi Densus 88 untuk menjadi wadah bagi eks napiter yang berhasil menjalankan program deradikalisasi. Yang lulus program deradikalisasi biasanya dicap sebagai napiter berkategori hijau oleh Densus 88.

Meskipun sudah berkategori hijau, menurut Sofyan, tak tertutup kemungkinan eks napiter kembali "tersesat". Itu bisa terjadi karena negara mengabaikan pendampingan jangka panjang. Banyak napiter kembali bergabung dengan jejaring lama lantaran pengawasan kendor. 

“Kenapa dia bisa berbuat lagi? Ini kan harus dievaluasi (program deradikalisasi). Dalam hal ini, BNPT sebagai leading sector dan Densus 88, mungkin satgaswil, itu bagi yang sudah NKRI dan sebagainya, itu bukan berarti berhenti pengawasannya. Mereka harus tetap dipantau," kata dia. 

Menurut Sofyan, ada banyak aspek yang perlu diperhatikan dalam proses deradikalisasi. Selain persoalan perut, pemerintah juga harus memastikan ideologi garis keras yang dianut para eks napiter telah benar-benar luntur. 

Ia menyebut setidaknya butuh pendampingan selama lima tahun sebelum seorang napiter bisa dikategorikan sebagai sosok yang telah jinak atau yang masih radikal. Asesmen berulang kali, kata Sofyan, perlu dilakukan. 

“Yang merah tentu harus lebih prioritas terkait surveillance. Misal, pengawasan di HP, lingkungan, dan sebagainya. Bagi yang sudah hijau, mungkin enggak terlalu intens karena kalau hijau sudah dianggap clear,” ucapnya.

Pendampingan terhadap eks napiter, jelas Sofyan, perlu dilakukan negara sampai menyentuh persoalan sehari-hari. Selain ekonomi, kata dia, negara juga perlu hadir apabila eks napiter kesulitan dalam mengurus administrasi kependudukan.

Sofyan mengatakan, bantuan ekonomi saja tak cukup untuk menjinakkan eks napiter. Sebagai pendakwah DeBintal, Sofyan bercerita bahkan harus bersaing dengan yayasan yang terafiliasi dengan jaringan teroris. Yayasan-yayasan merah itu kerap mencitrakan diri sebagai rumah quran, rumah tahfidz, atau pengumpul dana kemanusiaan. 

“Kelompok (eks napiter) merah ini juga punya yayasan-yayasan dan finansial yang cukup kuat sehingga ketika kita (pemerintah) tidak hadir di sana, maka mereka yang hadir,” ucap Sofyan.

Bersama Yayasan DeBintal, Sofyan rutin berkeliling LP di seluruh Indonesia untuk berdakwah. Sesekali, DeBintal juga bekerja sama dengan pihak eksternal untuk menggelar pelatihan usaha dan membangun keterampilan para napiter. 

Sofyan mengakui upaya-upaya tersebut tak sepenuhnya mulus. Ada kalanya ceramah dia dan rekan-rekannya di LP dianggap angin lalu. Bahkan, ada sejumlah napiter di Lapas Gunung Sindur yang menyatakan tidak menerima kedatangan Sofyan dan kawan-kawan.

“Ya, enggak apa-apa. Kewajiban kita dakwah. Bagi kita sebagai ujian dakwah juga. Tapi ada juga keberhasilannya karena ternyata setelah kita ini, ternyata banyak yang NKRI, yang kemudian mengubah keputusannya (untuk) mau tanda tangan NKRI, mau jadi murid,” jelasnya.

  Pendakwah dari Yayasan Debintal dan BPET MUI PUSAT berdiskusi dengan sipir dan napi kasus terorisme di Lapas Cipinang, Jakarta Timur, Selasa (18/10). /Foto Facebook

Pentingnya disengagement

Sumber Alinea.id di Densus 88 membenarkan adanya pemetaan terhadap para napiter, baik saat masih berstatus napi atau telah bebas dari bui. Di BNPT, kata dia, napiter umumnya dipetakan menjadi empat kelompok, yaitu merah, kuning, biru, dan hijau. 

Pemetaan tersebut berawal dari lapas atas kajian BNPT yang melibatkan psikolog. Salah satu parameter napiter masuk kategori merah ialah tidak mau menerima ketentuan UU, semisal menerima remisi atau mengajukan pembebasan bersyarat (PB). 

Kategori kuning, lanjut sumber Alinea.id, biasanya dilekatkan pada para napi atau eks napiter yang telah bersedia menerima aturan hukum yang berlaku di Indonesia namun pemahamannya sulit ditembus. 

“Itu kuning. Lalu, 'Oh, dia (napiter) sudah ikrar NKRI.' Statusnya, hijau. Ada lagi sudah kooperatif, tapi belum tanda tangan NKRI, biru,” jelas dia saat berbincang dengan Alinea.id di sebuah restoran di Jakarta Timur, Selasa (13/12).

Di lapas, pengkategorian tersebut bakal menentukan penempatan napiter. Di Lapas Karang Anyar, misalnya, seorang napiter yang dikategorikan masuk kelompok merah oleh BNPT biasanya menempati ruang tahanan seorang diri atau diisolasi.

Berbeda dengan BNPT, menurut dia, Densus 88 hanya punya dua kategori napi atau eks napiter, yakni merah dan hijau. “Yang hijau taruh di Polda (Metro Jaya), yang merah enggak. (Tahanan) yang kuning dan biru masuk (kategori) merah,” ucapnya.

Pemetaan juga diberlakukan terhadap napiter yang sudah bebas. Menurutnya, penilaian karakter eks napiter turut dilakukan terhadap keluarga eks napiter. Dalam proses asesmen, Densus 88 selalu melibatkan psikolog.

Hasil asesmen tersebut, kata dia, dijadikan dasar untuk mengelompokkan eks napiter. Salah satu parameter napiter mengakui negara dengan mengajukan PB atau bebas murni. 

Dia mencontohkan Agus pelaku bom Astana Anyar. Menurutnya, saat di lapas Agus tidak mengajukan PB sekalipun sudah ditawarkan. “Dia mau bebas murni. Menjalanilah hukuman sampai akhir. Maka, waktu dia bebas kan statusnya masih merah,” jelasnya.

Lebih lanjut, sumber Alinea.id mengatakan, Densus 88 juga memberikan pendampingan terhadap napiter saat telah bebas dari penjara. Pendampingan pertama yang dilakukan ialah mengantarkan eks napiter ke kediamannya.

Pendampingan terhadap eks napiter bisa berlangsung lama. Biasanya, kata dia, akan ada petugas yang memonitor salah para eks napiter dan rutin berkunjung ke rumah mereka. Dalam kegiatan itu, pembahasan antara petugas dengan eks napiter situasional. Namun, tak akan membicarakan kasus.

“Tergantung situasinya dia (eks napiter), apa lagi (ada) masalah atau lagi senang. Kita tidak menggali lagi kasus-kasus lama. Kita anggap sudah lunas,” katanya.

Bantuan modal usaha turut diberikan. Menurutnya, hal tersebut sebagai salah satu upaya Densus 88 dengan harapan bisa memutus mata rantai eks napiter dari jaringan lamanya. Cara lainnya, kata dia, ialah dengan membentuk wadah untuk mengumpulkan para eks napiter.

“Seperti yayasan, koperasi, dan lain-lain. Dengan ada perkumpulan yang dikelola oleh dia (eks napiter), meringankan beban kontrol. Cukup pimpinannya (yang dipanggil), sehingga kecil kemungkinan dia (eks napiter) gabung lagi dengan jaringan (teroris) karena sudah nyaman di kelompoknya,” kata sumber Alinea.id.

Ia mengakui upaya memutus mata rantai terorisme lewat disengagement tergolong sulit. Selain butuh waktu yang lama, program-program tersebut butuh anggaran. Di lain sisi, disengagement tidak termaktub dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. 

Pada beleid itu, tidak ada pasal yang khusus membahas upaya disengagement. Pencegahan terhadap aksi teror eks napi hanya terbatas pada kegiatan deradikalisasi, reidentifikasi, reedukasi, resosialisasi, dan reintegrasi.

“Tidak dilapis lagi dengan pasal berikutnya, yaitu pemutus mata rantai. Dengan mekanisme apa? Pengembangan reintegrasi tadi. Apa itu? Disebutkan (apa saja kegiatannya). Tapi, Itu tidak ada (di UU 5/2018),” ujar dia. 

Alinea.id sudah menghubungi Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris untuk menanyakan program deradikalisasi yang dilakukan lembaga tersebut. Namun, sampai artikel ini ditulis, Irfan belum merespons permintaan wawancara, baik melalui pesan singkat maupun telepon.


 

img
Akbar Ridwan
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan